FLIP-FLOP
“Ah.. Akhirnya sampai juga di Bandung,” ucapku sambil menghirup udara yang terasa sangat sejuk. Seketika itu pula Kakek dan Nenek menyambut kedatangan keluargaku. Nenek memeluk dan mencium kedua pipiku, begitu juga dengan Kakek. Aku sangat merindukan mereka meskipun hanya satu tahun kami tidak berjumpa. Selain merindukan mereka, ada seorang lagi yang sangat ku rindukan. Seseorang yang ku kenal setahun yang lalu saat aku berlibur disini. Ia tinggal tepat didepan rumah Kakek. Namanya Diaz.
Aku heran mengapa Diaz tidak mengunjungiku dirumah Kakek, padahal seharusnya dia tau jika aku sedang berlibur disini. Sudah seharian aku menunggunya, dan sekarang sudah malam. Dalam hatikubertanya, “kenapa Diaz tidak menemui aku? Apa dia sudah melupakanku?” Sudah satu setengah jam aku duduk di bangku teras rumah Kakek sambil memandang kearah rumah Diaz. Tapi tidak ada satu orang pun yang keluar dari rumah itu. Aku mulai jenuh, aku memutuskan masuk kedalam kamar.
Sambil berbaring diatas tempat tidur, aku teringat harapanku setahun yang lalu. Sebuah harapan yang kuucapkan dalam hati bersama Diaz, harapan itu adalah sebuah “flip-flop”, harapan yang diucapkan dalam hati ketika dua orang secara tidak sengaja mengatakan suatu hal bersamaan. Flip-flop dilakukan dengan cara saling mengikatkan jari dua kelingking, setelah itu memejamkan mata kemudian mengucapkan permintaan dalam hati dan kembali membuka mata. Saat hitungan ketiga, ucapkan satu kata antara flip dan flop secara bersamaan kembali. Jika keduanya mengatakan kata yang berbeda, misalnya flip dengan flop, maka niscaya keinginan itu akan terwujud. Namun jika keduanya mengatakan kata yang berbeda, misalnya flip dengan flip, atau flop dengan flop, maka niscaya harapan itu tidak akan terwujud.
Aku sendir tidak tau harus percaya dengan flip-flop atau tidak. Saat itu yang ku harapkan adalah bisa bertemu dan lebih dakat lagi dengan Diaz. Tapia pa mungkin flip-flop itu benar-benar terjadi? Aku akan cari tau jawabannya besok pagi. Aku pun segera terlelap.
“Bagaimana tidur kamu semalam, Mytha? Nyenyak?” Tanya Kakek kepadaku saat aku baru saja duduk di kursi meja makan untuk sarapan.
“Nyenyak, Kek,” jawabku kepada Kakek.
Setelah semua anggota keluarga terkumpul, kami memulai sarapan. Suasana terasa sangat akrab, ada Kakek, Nenek, Papa, Mama, Kak Rava, dan aku. Semuanya tersenyum, sebuah kebersamaan yang pasti akan sangat ku rindukan.
Selesai sarapan dan membantu membereskan meja makan, aku segara pergi menuju rumah Diaz.
“Tok,tok,tok.. Assalamu’alaikum,” sapaku sambil mengetuk pintu rumah Diaz. Tak lama kemudian ada yang menjawab salamku dan membukakan pintu dari dalam. Saat pintu terbuka, aku ingat, dia adalah Teh Yuyun, pembantu dirumah Diaz.
“Maaf, cari siapa nya?” tanya Teh Yuyun kepadaku dengan logat sundanya yang masis kental.
“Diaznya ada?” tanyaku.
“Oh.. Keluarga Aden Diaz teh sudah tidak tinggal disini lagi, sudah pindah ke Jakarta,” jawab Teh Yuyun.
“Pindah ke Jakarta? Kapan?” tanyaku dengan terkejut.
“Seminggu yang lalu, nantinya teh rumah ini akan ditempati Pak Danu, saudara ayahnya Aden Diaz,” jelas Teh Yuyun.
Aku sangat terpukul mendengar berita kepindahan Diaz. Flip-flop itu tak terjadi, padahal saat kami mengucapkan harapan, kami mengatakan flip-flop. Aku mengurung diri di kamar, aku kembali teringat pada Diaz, semua tentang Diaz. Setelah beberapa lama, Kak Rava memesuki kamarku.
“Kamu kenapa sih, Tha? Kakak perhatikan sejak tadi pagi kamu mengurung diri di kamar. Kamu nggak senang liburan disisni,” Tanya Kak Rava.
“Aku senang kok liburan disini. Aku cuma nggak lagi semangat aja,” jelasku pada Kakak.
“Emmh.. Gimana kalau kita keliling kampung naik sepeda onthel milik Kakek? Pasti seru deh, nanti kamu Kakak goncengin,” Kak Rava berusaha menghiburku.
“Tapi, Kak…,” belum sempat aku meyudahi perkataanku, Kak Rava memotongnya.
“Ayolah, Tha! Selagi kita liburan itu kita harus refreshing!”
“Ya sudah deh,” dengan berat aku mengiyakan ajakan Kak Rava.
Aku dan Kak Rava menaiki sepeda onthel milik Kakek, kami berkeliling kampung dan sesekali berhenti untuk menikmati pemendangan indah. Suasana disini memeng sangat nyaman, pemandangannya masih hijau dan juga tidak terlalu banyak kendaraan bermotor. Kak Rava memeng kakak yang baik, aku beruntung memiliki kakak seperti dirinya. Secara tidak langsung, sedikit banyak Kak Rava telah membantuku melupakan sejenak tentang Diaz.
Tanpa terasa sudah satu minggu aku berlibur disini, saatnya keluargaku kembali ke Jakarta. Lusa, adalah hari pertamaku menduduki bangku kelas IX. Sebelum memasuki mobil, aku kembali memandang kearah rumah Diaz. Aku masih teringat tentang Diaz, aku tidak bisa melupakannya.
Dalam perjalanan pulang, aku kembali teringat perkataan Teh Yuyun. Dia mengatakan bahwa Diaz pindah ke Jakarta. Tiba-tiba aku memiliki secercah harapan untuk bertemu dengan Diaz disana. Bagiamana tidak? Aku baru sadar, sekarang kami tinggal di kota yang sama. Flip-flop itu mungkain akan terwujud.
Akhirnya aku sampai di rumah dengan selamat, sungguh perjalanan yang melelahkan. Setelah menurunkan barang-barang, aku langsung menuju kamar untuk tidur. Besok, aku berjanji akan dating ke rumah Dyah untuk sekedar berkumpul bersama. Disana juga akan ada Ayu, Tyas, dan Luna, teman-taman yang sangat ku rindukan.
Tepat pukul delapan pagi, aku berangkat menuju rumah Dyah. Sampai disana, ternyata sudah ada Ayu dan Tyas, tinggal Luna yang belum datang.
“ Dyah, Luna kok belum datang sih?” tanyaku pada Dyah.
“Nggak tau, tadi sih ditelpon katanya dia masih di jalan. Nah, itu dia orangnya,” jawab Dyah sebelum Luna masuk dan tiba-tiba menabrakku.
‘Maaf ya, semuanya. Tadi macet,” kata Luna menjelaskan.
“Ya sudah lah, sepele,” jawab Ayu.
Setelah berkumpul, kami saling bercerita tentang liburan masing-masing. Giliran pertama adalah Dyah, dilanjutkan dengan Tyas, Ayu, Luna, dan sekarang tiba giliranku. Aku bercerita panjang lebar tentang liburanku, termasuk tentang Diaz. Semuanya lengkap ku ceritakan, mulai dari pertemuanku dengan Diaz, pengalamanku dengannya, juga tentang flip-flop. Aku menjelaskan bagaimana cara melakukan flip-flop. Mereka mengerti bahwa aku sangat mempercayai flip-flop, dan aku masih menanti terwujudnya flip-flop tersebut.
Jam empat sore aku pulang dari rumah Dyah. Besok adalah hari pertama masuk sekolah, dan aku harus menyiapkan segala sesuatu yang ku butuhkan.
“Pagi, Tha…,” sapa Luna kepadaku saat aku baru saja memasuki gerbang sekolah.
“Pagi…,” balasku.
“Tha, tadi gue lewat ruang kepala sekolah, gue lihat ada cowok cakep banget, pindahan dari Bandung,” Luna mulai menggosip.
Dari Bandung? Apa mungkin dai Diaz? Aku langsung berlari menuju ruang Kepala Sekolah, berharap bahwa murid baru itu adalah Diaz. Tapi bel sekolah tidak bersahabat, bel sudah berbunyi sebelum aku mengetahui siapa murid baru itu.
Dalam kelas, aku terus melamun. Lamunanku terpecah saat Pak Baldy memesuki ruang kelas dan memberi salam. Aku senang Pak Baldy menjadi wali kelasku, dia guru yang baik.
Dibelakang Pak Baldy, mengikuti seorang laki-laki. Aku mengenalnya, dia Diaz. Flip-flop itu terwujud.
“Silahkan kamu memperkenalkan diri,” Pak Baldy mempersilahkan Diaz memperkenalkan diri.
“Terima kasih, Pak. Selamat pagi, nama saya Brillian Diaz, saya pindahan dari Bandung,” Diaz memperkenalkan diri.
Setelah memperkenalkan diri, Pak Baldy mempersilahkan Diaz untuk duduk dibelakang bangkuku.
Pelajaran berlalu dengan tegang, aku salah tingkah dihadapan Diaz. Pada waktu istirahat tadi, aku banyak mengobrol dengannya. Aku bertukar nomor telpon, alamat, dan juga pengalaman-pengalaman menarik. Pulang sekolah nanti, Diaz, Ayu, Tyas, Luna, dan Rendy akan mengunjungi rumahku.
Di rumahku, kami membahas soal-soal Matematika yang tadi diberikan Pak Baldy. Aku begitu dekat dengan Diaz, begitu pun Diaz dengan yang lainnya, tidak sulit baginya untuk berbaur dengan teman yang lain.
Waktu demi waktu telah ku lewati bersama Diaz. Tak terasa sudah empat bulan Diaz berada disini. Minggu depan akan diadakan Ujian Tengah Semester (UTS). Aku mengisi hari-hariku dengan belajar bersama Diaz.
“Kamu…,” ucapku bersamaan dengan Diaz.
“Kita flip-flop yuk, Diaz!” ajakku terhadap Diaz.
“Kamu percaya flip-flop? Ya ampun, Tha, itu kan Cuma buat lucu-lucuan aja,” jelas Diaz.
“Tapi kan nggak ada salahnya dicoba,”
Akhirnya aku dan Diaz melakukan flip-flop. Aku tidak tau apa yang daharapkan Diaz, yang jelas aku berharap mendapat nilai bagus dalam ulangan.
“Flop…,” aku mengatakan kata yang sama dengan Diaz. Artinya flip-flop itu tidak akan berhasil.
“Aku akan dapat nilai jelek…,” ucapku histeris.
“Kamu kenapa sih?” Tanya Diaz.
“Flip-flop kita gagal, Diaz. Aku nggak akan dapat nilai bagus,” jelasku.
“Kamu itu masih punya Tuhan, Tuhan yang akan membantu kamu. Kamu cuma harus berusaha, percaya, dan berdoa pada Tuhan!’ jelas Diaz.
Diaz benar, aku harus berusaha, percaya, dan berdoa pada Tuhan. Lima hari lagi UTS.
Disisa waktuku, aku terus belajar, aku berdoa sampai akhirnya UTS dimulai. Aku mengerjakannya dengan sangat hati-hati. Aku yakin, aku pasti bisa.
Hari ini pembagian rapor bayangan.
“Selamat ya, Bu. Mytha mendapat nilai tertinggi dari seluruh murid kelas IX,” ucap Pak Baldy kepada Mamaku.
Sekarang aku percaya, Tuhan akan memberi segalanya yang aku butuhkan jika aku percaya pada-Nya. Dan mitos itu, tidak terbukti kebenarannya.
“Ah.. Akhirnya sampai juga di Bandung,” ucapku sambil menghirup udara yang terasa sangat sejuk. Seketika itu pula Kakek dan Nenek menyambut kedatangan keluargaku. Nenek memeluk dan mencium kedua pipiku, begitu juga dengan Kakek. Aku sangat merindukan mereka meskipun hanya satu tahun kami tidak berjumpa. Selain merindukan mereka, ada seorang lagi yang sangat ku rindukan. Seseorang yang ku kenal setahun yang lalu saat aku berlibur disini. Ia tinggal tepat didepan rumah Kakek. Namanya Diaz.
Aku heran mengapa Diaz tidak mengunjungiku dirumah Kakek, padahal seharusnya dia tau jika aku sedang berlibur disini. Sudah seharian aku menunggunya, dan sekarang sudah malam. Dalam hatikubertanya, “kenapa Diaz tidak menemui aku? Apa dia sudah melupakanku?” Sudah satu setengah jam aku duduk di bangku teras rumah Kakek sambil memandang kearah rumah Diaz. Tapi tidak ada satu orang pun yang keluar dari rumah itu. Aku mulai jenuh, aku memutuskan masuk kedalam kamar.
Sambil berbaring diatas tempat tidur, aku teringat harapanku setahun yang lalu. Sebuah harapan yang kuucapkan dalam hati bersama Diaz, harapan itu adalah sebuah “flip-flop”, harapan yang diucapkan dalam hati ketika dua orang secara tidak sengaja mengatakan suatu hal bersamaan. Flip-flop dilakukan dengan cara saling mengikatkan jari dua kelingking, setelah itu memejamkan mata kemudian mengucapkan permintaan dalam hati dan kembali membuka mata. Saat hitungan ketiga, ucapkan satu kata antara flip dan flop secara bersamaan kembali. Jika keduanya mengatakan kata yang berbeda, misalnya flip dengan flop, maka niscaya keinginan itu akan terwujud. Namun jika keduanya mengatakan kata yang berbeda, misalnya flip dengan flip, atau flop dengan flop, maka niscaya harapan itu tidak akan terwujud.
Aku sendir tidak tau harus percaya dengan flip-flop atau tidak. Saat itu yang ku harapkan adalah bisa bertemu dan lebih dakat lagi dengan Diaz. Tapia pa mungkin flip-flop itu benar-benar terjadi? Aku akan cari tau jawabannya besok pagi. Aku pun segera terlelap.
“Bagaimana tidur kamu semalam, Mytha? Nyenyak?” Tanya Kakek kepadaku saat aku baru saja duduk di kursi meja makan untuk sarapan.
“Nyenyak, Kek,” jawabku kepada Kakek.
Setelah semua anggota keluarga terkumpul, kami memulai sarapan. Suasana terasa sangat akrab, ada Kakek, Nenek, Papa, Mama, Kak Rava, dan aku. Semuanya tersenyum, sebuah kebersamaan yang pasti akan sangat ku rindukan.
Selesai sarapan dan membantu membereskan meja makan, aku segara pergi menuju rumah Diaz.
“Tok,tok,tok.. Assalamu’alaikum,” sapaku sambil mengetuk pintu rumah Diaz. Tak lama kemudian ada yang menjawab salamku dan membukakan pintu dari dalam. Saat pintu terbuka, aku ingat, dia adalah Teh Yuyun, pembantu dirumah Diaz.
“Maaf, cari siapa nya?” tanya Teh Yuyun kepadaku dengan logat sundanya yang masis kental.
“Diaznya ada?” tanyaku.
“Oh.. Keluarga Aden Diaz teh sudah tidak tinggal disini lagi, sudah pindah ke Jakarta,” jawab Teh Yuyun.
“Pindah ke Jakarta? Kapan?” tanyaku dengan terkejut.
“Seminggu yang lalu, nantinya teh rumah ini akan ditempati Pak Danu, saudara ayahnya Aden Diaz,” jelas Teh Yuyun.
Aku sangat terpukul mendengar berita kepindahan Diaz. Flip-flop itu tak terjadi, padahal saat kami mengucapkan harapan, kami mengatakan flip-flop. Aku mengurung diri di kamar, aku kembali teringat pada Diaz, semua tentang Diaz. Setelah beberapa lama, Kak Rava memesuki kamarku.
“Kamu kenapa sih, Tha? Kakak perhatikan sejak tadi pagi kamu mengurung diri di kamar. Kamu nggak senang liburan disisni,” Tanya Kak Rava.
“Aku senang kok liburan disini. Aku cuma nggak lagi semangat aja,” jelasku pada Kakak.
“Emmh.. Gimana kalau kita keliling kampung naik sepeda onthel milik Kakek? Pasti seru deh, nanti kamu Kakak goncengin,” Kak Rava berusaha menghiburku.
“Tapi, Kak…,” belum sempat aku meyudahi perkataanku, Kak Rava memotongnya.
“Ayolah, Tha! Selagi kita liburan itu kita harus refreshing!”
“Ya sudah deh,” dengan berat aku mengiyakan ajakan Kak Rava.
Aku dan Kak Rava menaiki sepeda onthel milik Kakek, kami berkeliling kampung dan sesekali berhenti untuk menikmati pemendangan indah. Suasana disini memeng sangat nyaman, pemandangannya masih hijau dan juga tidak terlalu banyak kendaraan bermotor. Kak Rava memeng kakak yang baik, aku beruntung memiliki kakak seperti dirinya. Secara tidak langsung, sedikit banyak Kak Rava telah membantuku melupakan sejenak tentang Diaz.
Tanpa terasa sudah satu minggu aku berlibur disini, saatnya keluargaku kembali ke Jakarta. Lusa, adalah hari pertamaku menduduki bangku kelas IX. Sebelum memasuki mobil, aku kembali memandang kearah rumah Diaz. Aku masih teringat tentang Diaz, aku tidak bisa melupakannya.
Dalam perjalanan pulang, aku kembali teringat perkataan Teh Yuyun. Dia mengatakan bahwa Diaz pindah ke Jakarta. Tiba-tiba aku memiliki secercah harapan untuk bertemu dengan Diaz disana. Bagiamana tidak? Aku baru sadar, sekarang kami tinggal di kota yang sama. Flip-flop itu mungkain akan terwujud.
Akhirnya aku sampai di rumah dengan selamat, sungguh perjalanan yang melelahkan. Setelah menurunkan barang-barang, aku langsung menuju kamar untuk tidur. Besok, aku berjanji akan dating ke rumah Dyah untuk sekedar berkumpul bersama. Disana juga akan ada Ayu, Tyas, dan Luna, teman-taman yang sangat ku rindukan.
Tepat pukul delapan pagi, aku berangkat menuju rumah Dyah. Sampai disana, ternyata sudah ada Ayu dan Tyas, tinggal Luna yang belum datang.
“ Dyah, Luna kok belum datang sih?” tanyaku pada Dyah.
“Nggak tau, tadi sih ditelpon katanya dia masih di jalan. Nah, itu dia orangnya,” jawab Dyah sebelum Luna masuk dan tiba-tiba menabrakku.
‘Maaf ya, semuanya. Tadi macet,” kata Luna menjelaskan.
“Ya sudah lah, sepele,” jawab Ayu.
Setelah berkumpul, kami saling bercerita tentang liburan masing-masing. Giliran pertama adalah Dyah, dilanjutkan dengan Tyas, Ayu, Luna, dan sekarang tiba giliranku. Aku bercerita panjang lebar tentang liburanku, termasuk tentang Diaz. Semuanya lengkap ku ceritakan, mulai dari pertemuanku dengan Diaz, pengalamanku dengannya, juga tentang flip-flop. Aku menjelaskan bagaimana cara melakukan flip-flop. Mereka mengerti bahwa aku sangat mempercayai flip-flop, dan aku masih menanti terwujudnya flip-flop tersebut.
Jam empat sore aku pulang dari rumah Dyah. Besok adalah hari pertama masuk sekolah, dan aku harus menyiapkan segala sesuatu yang ku butuhkan.
“Pagi, Tha…,” sapa Luna kepadaku saat aku baru saja memasuki gerbang sekolah.
“Pagi…,” balasku.
“Tha, tadi gue lewat ruang kepala sekolah, gue lihat ada cowok cakep banget, pindahan dari Bandung,” Luna mulai menggosip.
Dari Bandung? Apa mungkin dai Diaz? Aku langsung berlari menuju ruang Kepala Sekolah, berharap bahwa murid baru itu adalah Diaz. Tapi bel sekolah tidak bersahabat, bel sudah berbunyi sebelum aku mengetahui siapa murid baru itu.
Dalam kelas, aku terus melamun. Lamunanku terpecah saat Pak Baldy memesuki ruang kelas dan memberi salam. Aku senang Pak Baldy menjadi wali kelasku, dia guru yang baik.
Dibelakang Pak Baldy, mengikuti seorang laki-laki. Aku mengenalnya, dia Diaz. Flip-flop itu terwujud.
“Silahkan kamu memperkenalkan diri,” Pak Baldy mempersilahkan Diaz memperkenalkan diri.
“Terima kasih, Pak. Selamat pagi, nama saya Brillian Diaz, saya pindahan dari Bandung,” Diaz memperkenalkan diri.
Setelah memperkenalkan diri, Pak Baldy mempersilahkan Diaz untuk duduk dibelakang bangkuku.
Pelajaran berlalu dengan tegang, aku salah tingkah dihadapan Diaz. Pada waktu istirahat tadi, aku banyak mengobrol dengannya. Aku bertukar nomor telpon, alamat, dan juga pengalaman-pengalaman menarik. Pulang sekolah nanti, Diaz, Ayu, Tyas, Luna, dan Rendy akan mengunjungi rumahku.
Di rumahku, kami membahas soal-soal Matematika yang tadi diberikan Pak Baldy. Aku begitu dekat dengan Diaz, begitu pun Diaz dengan yang lainnya, tidak sulit baginya untuk berbaur dengan teman yang lain.
Waktu demi waktu telah ku lewati bersama Diaz. Tak terasa sudah empat bulan Diaz berada disini. Minggu depan akan diadakan Ujian Tengah Semester (UTS). Aku mengisi hari-hariku dengan belajar bersama Diaz.
“Kamu…,” ucapku bersamaan dengan Diaz.
“Kita flip-flop yuk, Diaz!” ajakku terhadap Diaz.
“Kamu percaya flip-flop? Ya ampun, Tha, itu kan Cuma buat lucu-lucuan aja,” jelas Diaz.
“Tapi kan nggak ada salahnya dicoba,”
Akhirnya aku dan Diaz melakukan flip-flop. Aku tidak tau apa yang daharapkan Diaz, yang jelas aku berharap mendapat nilai bagus dalam ulangan.
“Flop…,” aku mengatakan kata yang sama dengan Diaz. Artinya flip-flop itu tidak akan berhasil.
“Aku akan dapat nilai jelek…,” ucapku histeris.
“Kamu kenapa sih?” Tanya Diaz.
“Flip-flop kita gagal, Diaz. Aku nggak akan dapat nilai bagus,” jelasku.
“Kamu itu masih punya Tuhan, Tuhan yang akan membantu kamu. Kamu cuma harus berusaha, percaya, dan berdoa pada Tuhan!’ jelas Diaz.
Diaz benar, aku harus berusaha, percaya, dan berdoa pada Tuhan. Lima hari lagi UTS.
Disisa waktuku, aku terus belajar, aku berdoa sampai akhirnya UTS dimulai. Aku mengerjakannya dengan sangat hati-hati. Aku yakin, aku pasti bisa.
Hari ini pembagian rapor bayangan.
“Selamat ya, Bu. Mytha mendapat nilai tertinggi dari seluruh murid kelas IX,” ucap Pak Baldy kepada Mamaku.
Sekarang aku percaya, Tuhan akan memberi segalanya yang aku butuhkan jika aku percaya pada-Nya. Dan mitos itu, tidak terbukti kebenarannya.
0 Komentar untuk "CERPEN SISWA"